Sabtu, 07 Februari 2009

Ekonomi

Sebuah kutipan puisi yang bagi para taruna lulusan Akademi Militer

Magelang akan mengingatkan mereka pada masa-masa penggemblengan

sebagai calon perwira. Gunung Tidar tak terpisahkan dengan pendidikan

militer. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa"

itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari

permukaan laut, Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada 11 November 1957.

Magelang memang lekat dengan sekolah pendidikan militer. Dari kota yang luasnya hanya 18,12 kilometer persegi-paling kecil dibanding kabupaten maupun kota lain se Jawa Tengah-banyak dicetak perwira tinggi yang menjadi pemimpin di negeri ini. Begitu identiknya Kota Magelang dengan sekolah militer dapat dilihat pula dari lambang kota yang menggambarkan topi baja di atas buku, menunjuk pada keberadaan sekolah Angkatan Darat itu. Ditambah lagi adanya SMU Taruna Nusantara yang diresmikan pada 14 Juli 1990 oleh Panglima ABRI saat itu Jenderal Try Sutrisno.

Berada di ketinggian 380 meter dari atas permukaan laut, Kota Magelang memiliki keunggulan dari lokasinya yang strategis, berada di jalur transportasi utama antara dua kota besar, yakni Yogyakarta dan Sema-rang. Jalur ekonomi yang ramai itu menjadi kekuatan utama Magelang di sektor pengangkutan dan telekomunikasi. Wajar bila kota ini berupaya menjadi kota transit.

Salah satu upaya adalah membenahi terminal angkutan, sebab dari terminal saja pemerintah kota mampu mengumpulkan retribusi hingga Rp 693 juta. Di tahun 2000 pengangkutan dan komunikasi menyumbang Rp 252,57 juta atau 17,76 persen dari seluruh kegiatan ekonomi Kota Magelang.

Kontribusi terbesar kegiatan ekonomi Magelang diperoleh dari sektor jasa, Rp 358,75 juta atau 37,97 persen. Tak salah bila pemerintah kota (pemkot) menetapkan visi Magelang sebagai Kota

Jasa. Untuk mencapai visi itu berbagai fasilitas seperti terminal, parkir, pasar, restoran, dan hotel terus dioptimalkan peran dan fungsinya, karena dari sinilah pemkot bisa menambah kas daerah lewat pajak dan retribusi. Tahun 2001 pendapatan asli daerah (PAD) yang Rp 11,39 milyar, Rp 756,79 juta diperoleh dari retribusi pasar. Keberadaan pasar tradisional seperti Pasar Rejowinangun, Pasar Gotong Royong, dan Pasar Kebonpolo tetap dipertahankan, dan sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran supermarket yang lebih modern. PAD terbesar diperoleh dari retribusi pelayanan kesehatan Rp 6,16 milyar. Agaknya Rumah Sakit

Umum (RSU) Magelang menjadi kontributor terbesar. RSU ini merupakan RS swadana (dikelola dengan otonomi penuh) yang ditetapkan Menteri Kesehatan Adhyatma sebagai model RS swadana untuk dikembangkan pada tahap awal di semua RS pemerintah di Jawa. Dengan status swadana itulah pendapatan yang pada tahun 1984 sekitar Rp 116 juta melonjak menjadi Rp 1 milyar di tahun 1991. Sementara di tahun anggaran 2000 PAD yang nilainya Rp 7,47 milyar, Rp 4,96 milyar berasal dari RSU ini.

Sumber pemasukan lain, dari pajak hotel dan restoran yang memberi kontribusi Rp 325,67 juta. Posisi kota yang strategis di tengah-tengah Kabupaten Magelang yang memiliki obyek wisata Candi Borobudur, sangat potensial dalam menjaring wisatawan untuk menginap dan membelanjakan uangnya di kota ini.

Pariwisata memang menjadi andalan Magelang. Obyek wisata seperti Taman Kyai Langgeng bias memberi tambahan kas daerah Rp 398,97 juta. Obyek lainnya yang cukup potensial

mendatangkan rupiah, yakni beberapa museum, di antaranya Kamar Diponegoro di Pendopo Gedung Karesidenan Kedu di bagian Barat Kota, berisi peninggalan Pangeran Diponegoro. Ada pula Museum Sudirman dan Museum Bumi Putera yang merupakan museum asuransi Bumi Putera. Museum yang diresmikan 20 Mei 1985 ini berisi rekaman sejarah Bumi Putera 1912 sejak lahir dan berdiri di kota ini.

Kota "kecil" yang bersih dan asri ini bisa dibilang tidak memiliki sumber daya alam. Terbatasnya lahan ditambah penduduk yang padat membuat daerah ini kesulitan lahan untuk fasilitas pengembangan kota. Tingkat pendapatan per kapita Kota Magelang yang Rp 6,48 juta di tahun 2000 terbilang tinggi dibanding pendapatan per kapita Jawa Tengah Rp 3,3 juta. Namun, jumlah rumah tangga miskin di kota ini masih lumayan tinggi. Tahun 1999 masih terdapat 6.968 rumah tangga miskin atau 22,08 persen. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik, dan pedagang. Merupakan tantangan bagi pemkot untuk meningkatkan taraf hidup mereka di tengah kota yang mampu mencetak jenderal berbintang di negeri ini. (MG Retno Setyowati/ Litbang Kompas )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar